
Di sudut sana, di tepi pantai di antara anak-anak pantai yang berlarian, sepasang bintang sedang duduk menikmati keindahan garis langit yang diukir oleh ombak yang berwarna-warni.
“Lihat ombak yang bergulung itu” sang laki-laki mengarahkan pandangannya pada sekumpulan ombak yang terus berkejaran. Mata sang gadis mengikuti tatapan lelakinya, turut memandang pada ombak. Sesekali buih putih hadir diantara hempasan-hempasan ombak yang menyapu kaki mereka. “Pantai selalu menantikan ombak dan ombak yang selalu kembali ke pantai” lanjutnya.
Perlahan, hembusan nafas menyapu wajah sang gadis. Disentuhnya bibir tipis sang gadis dengan ibu jarinya, dan jemari lainnya membelai lembut pipi yang mulai merona semu.
“Bibirmu bagaikan gulungan ombak itu, hempasannya menghantam sisi paling dalam hati ini,” bisiknya. Wajah mereka semakin dekat, semakin rapat. Seakan ingin menyatu, hanya terpisahkan oleh hembusan angin yang memburu dari kedua hidung mereka. Desah nafas saling bersinggungan, menciptakan distorsi pada kicauan camar yang mengiringi orkestra pantai.
“Jangan, aku takut” ia memalingkan wajahnya tiba-tiba. Kedua telapak tangan tak mampu menutupi wajah itu. Dan nyanyian camar tak lagi merdu. Sang gadis pun beranjak dan pergi entah kemana, meninggalkan sang laki-laki sendirian di tepi pantai menjemput senja yang masih terlalu lama untuk datang.
Di sudut lain, di atas sebuah pondokan kecil, ada 7 orang muda-mudi, mereka menikmati setiap sesuap mee ayam, sambil berfoto-foto, sesekali bercanda tawa, entah apa yang dibicarakan mereka, meski terdengar begitu jelas di telinga, tapi tak ada satu pun yang menarik perhatianku. Udara laut masih lebih menarik, aroma pantai yang sangat kuinginkan menghilangkan semua kepekaanku pada dunia dan saat itulah kerinduan itu muncul, kerinduan akan kebebasan dan ketenangan.
Tiba-tiba aku mendengar seseorang berkata, “Seandainya aku adalah anak-anak pantai, saat ini aku pasti sudah ke pantai, membuat gunung pasir atau berenang di laut lepas“.
Aku mencuba mencari arah suara itu, tapi suara itu justru dari dalam pikiranku sendiri. Aku mencuba lepas dari khayalan, melihat kelap-kelip lampu di tepi pantai yang membuat hatiku damai. Tapi pemandangan laut lepas masih menarik untuk dinikmati.
Sang suria kian meninggi, aku bersiap untuk berlari-lari di tepian pantai, setelah itu melepas lelah dan duduk-duduk di tepi pantai menjemput senja, menunggui matahari besar berwarna jingga meluncur tenggelam ke laut.
Ternyata, disana aku kembali melihat sepasang bintang, kali ini mereka telah kembali bersama, duduk mesra penuh senyum diwajah, “Akankah kita terus bersama?” tanya sang gadis.
“Kita akan selalu bersama, bahkan walau ajal telah menjemput“, tapi itu bukan jawaban sang laki-laki, bintang kecil di pesisir pantailah yang membuat jawaban itu.
Sang laki-laki hanya tersenyum mendengar jawaban itu, jawaban yang tak pernah nyata, jawaban yang hanya ada dalam pikiranku. Setelah itu aku pergi, sedikit jauh dari mereka, dunia yang hanya menjadi milik mereka berdua. Di tepian pantai itu, ombak berdebur pelan, aku duduk sendirian, kembali merindukan kebebasan dan ketenangan, sambil menunggu orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Ombak yang menyapa kakiku membuatku kesejukan sampai ke ubun-ubun. Kehangatan yang dihadirkan oleh sentuhan-sentuhan halus pada kulit mereka mengalirkan butiran pasir pada arteri dan menusuk ke sumsum tulang.
Aku begitu bahagia hari ini, meski rasa kesal, kecewa dan amarah masih lebih mengikat kencang diriku. Tapi tentu saja bahagia dan senang itu selalu muncul di hati,di kala jumpa dengan laut yang bersih dan suci, ada aura kebebasan di situ, ada aroma khas yang selalu aku nikmati, aroma laut yang asing, hangat, lembut dan suara-suara ombak yang menggetarkan hati, keindahan alam. Aura laut bersih yang membahagiakan, menimbulkan rasa nyaman dan damai yang memenuhi setiap bahagian dari ingatan ku. Rasa dan batin ku menrasai kebebasan itu dengan tulus, menikmati nya dengan penuh perhatian dan hilang kata dan bahasa.
“Aku sayang kamu“
Aku dengar salah satu dari sepasang bintang di tepi pantai berucap, meski cukup jauh, tapi aku dapat mendengar jelas ucapan itu. Aku bangkit, rasa cemburu menghantuiku, aku kembali ke tempat orang-orang sedang menungguku dan menyelesaikan urusan mereka masing-masing, di pondok kecil tak bertuan.
Setelah semua berkumpul, aku dan mereka berjalan, ditepian garis pantai yang tak berujung, memanfaatkan setiap lengkukan tempat untuk mengabadikan setiap kenangan bersama yang singkat ini. Tapi pandangan mataku tak lepas dari sepasang bintang di tepi pantai. Terus saja mencuri kesempatan untuk melihat gadis yang memancarkan sinar dengan indahnya. Meski hanya dari kejauhan.
Waktu terus berlalu dan tak pernah berhenti berputar, disanalah, di tempat batu-batu karang yang tersusun dengan indahnya, aku berhenti berjalan, mencuba menegaskan pada diri sendiri bahwa ini adalah ujung perjalanan kali ini, jika kita terus mencari, kita tidak akan pernah menemukan batasan, keinginan manusia sungguh tidak terbatas, hanya perasaan syukurlah yang membuat kita merasa puas.
Aku duduk seorang diri, merenung, melepas jauh pandangan ke lautan lepas, sambil sekali-kali melirik ke arah sepasang bintang di tepi pantai yang makin larut dalam kemersaan. Suara ombak yang menerpa batu karang terdengar seperti konsert sumbang pagi hari, batu-batu itu, sebahagian ada yang sebesar duit syiling.
Ketika waktunya tiba, akupun beranjak dari khayalanku yang jauh melampaui langit ke tujuh, bangkit dan melangkah untuk kembali pulang. Untuk terakhir kalinya aku melihat sepasang bintang di tepi pantai dan mengikhlaskan pada diriku sendiri. Terdengar nyanyian anak pantai bersama senandung dawai gitar, semakin menambah haru birunya lautan jiwaku yang paling dalam. Mungkin sepasang bintang di tepi pantai akan bersinar lebih indah jika mereka bersama...

















0 ulasan:
Post a Comment